Tuberkulose atau tuberculosis (dulu disingkat TBC) sebenarnya sudah diderita manusia sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitian pada mumi peninggalan zaman Mesir kuno, saat itu sudah banyak orang meninggal gara-gara penyakit ini.
Belakangan, ketika penderita HIV/AIDS semakin bertambah jumlahnya, penyakit TB pun tampil kembali setelah lama tak terdengar ulahnya. Kedua penyakit itu rupanya sangat erat hubungannya. Menurunnya daya tahan tubuh yang drastis mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi seperti TB. Tentu saja terjangkitnya TB pada penderita HIV akan semakin memperburuk ketahanan tubuhnya serta mempercepat replikasi virus dalam tubuhnya. Berarti infeksi HIV akan mempercepat perjalanan penyakit TB.
Sebaliknya, TB dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV akan semakin mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS. Dalam kasus ini TB menjadi amat sulit dibasmi dan acap kali berakibat fatal. Sekitar sepertiga kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh TB, dan sekitar 40% kematian pada penderita AIDS di Afrika dan Asia disebabkan oleh TB. Menurut perkiraan WHO, akhir abad ini virus HIV akan menyebabkan sedikitnya 1,4 juta kasus TB aktif.
Dengan tanda awal demam, bobot badan menurun, cepat lelah, berkeringat dingin malam hari, gejala TB juga disertai batuk yang dahaknya acap kali bercampur darah.
Penyakit ini mulai menyebar ke segala penjuru dunia pada abad XVII - XVIII. Saat itu TB menyebabkan kematian hampir seperseperempat jumlah kaum dewasa di Eropa. Di AS bagian utara, dari tahun 1800 sampai awal 1900-an, TB merupakan penyebab kematian utama.
Walaupun mikrobakteri tuberkulose sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch pada 24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit ini baru bisa diberantas setelah ditemukan obatnya. pada 1940 - 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara lain
streptomycin, isioniazid, dan para-aminosacylic acid. Kemudian muncul obat ethambutol, rifampicin, thiacetazone, dan pyrazinamide.
Sejak itu, TB sempat mereda dan tidak lagi terlalu dimasalahkan oleh kalangan kedokteran. Namun, awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan pembicaraan dunia kedokteran karena ternyata masih membunuh sekitar 2 - 3 juta penduduk dunia, khususnya di negara ekonomi lemah dan menengah. Dari tujuh juta penderita TB, lebih dari setengahnya berada di negara berpendapatan menengah seperti Brasil, Indonesia, Iran, Meksiko, Filipina, Rusia, Afrika Selatan, dan Thailand. Belum lagi di negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan, India, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sudan, atau Uganda.
Menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru-paru dari RS Persahabatan, Jakarta, kini diperkirakan setiap tahun di dunia muncul empat juta penderita TB menular. Belum lagi sekitar empat juta penderita yang tidak menular atau pembawa kuman TB. Setiap tahun diperkirakan tiga juta orang meninggal karena penyakit ini, di antaranya satu juta kaum wanita dan sekitar 100.000 anak-anak.
Di Indonesia sendiri TB masih merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan, peringkat pertama penyebab kematian karena penyakit menular. Jumlah penderitanya sekitar 500.000 orang/tahun dan kematian sekitar 175.000 orang/tahun, khususnya di daerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman itu.
Di Singapura, negara termaju di Asia Tenggara itu, penambahan penderita TB hanya sekitar 2% atau sekitar 56 orang per 100.000 penduduk. Tapi jumlah ini masih 5 - 10% lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju lain. Sebagian besar kasus TB di Singapura terdeteksi pada para pendatang asing yang mengajukan izin kerja. Jumlahnya sekitar 12% dari 2.483 - 2.786 pendatang. Sedangkan di negara-negara maju, penderita TB sebagian besar para pengungsi atau gelandangan.
Harus diberantas tuntas Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita. Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB hendaknya segera disarankan untuk berobat. Bila dirawat di rumah hendaknya di kamar tersendiri dengan segala peralatan atau perlengkapan tersendiri pula. Lantai ruangan harus setiap hari dibersihkan dengan disinfektan yang cukup kuat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari penderita mengingat mereka rentan terhadap penyakit sehingga lebih mudah tertular, terutama kalau sanitasi dan higiene lingkungan serta gizi makanan anak kurang memenuhi syarat.
Kuman TB bisa juga menyerang hewan seperti babi, unggas, dan sapi. Sebab itu TB juga bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi kuman (M. Bovis) kalau tidak dipasturisasi secara saksama.
Namun selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah putih.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion (pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada). Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah. Terkadang pula infeksi primer TB tidak terjadi pada paru-paru (10%), tapi pada sendi atau tulang, ginjal, usus, rahim serta getah bening (leher).
Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit. Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain dari paru-paru. Pada taraf ini mungkin penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dll.
Pengetesan terhadap kuman TB yang sederhana adalah melalui ludah. Sedangkan untuk pencegahan biasanya digunakan vaksin BCG. Vaksin ini berupa kuman TB yang sudah dilemahkan. Sebelum mendapatkan suntikan ini, seseorang harus mendapatkan tes Manteaux terlebih dulu untuk mengetahui apakah ia memang masih terbebas dari kuman itu. Melalui foto X-Ray-thorax dapat diketahui pula keadaan paru-paru penderita (paru-paru penderita TB tampak berawan). Ada kalanya, pada stadium lanjut paru-paru sampai berlubang-lubang. Pada paru-paru yang pernah terjangkit penyakit TB pun pasti akan tetap terlihat bebas-bekasnya. Khusus untuk orang yang terinfeksi virus HIV, pencegahan TB dilakukan dengan langsung memberikan obat INH.
Jangan sampai kebal Dalam usaha menumpas penyakit TB ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebenarnya telah memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya system
monitoring yang baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Penanganan TB secara langsung, terawasi, cepat, dan tuntas ini sebenarnya ampuh dan efektif untuk menumpas TB.
Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya pemberantasan TB masih berlangsung lamban. Hambatannya antara lain letak geografis wilayah Indonesia yang terpencar-pencar, kurang penerangan, kurang teraturnya pengobatan, dll. Bahkan, di negara-negara berpenghasilan rendah, proyek ini masih tertunda. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengah-setengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling sedikit enam bulan.
Kalau pengobatan tidak tuntas, menurut dr. Tjandra, malah menyebabkan kuman kebal obat dan tentu akan muncul lebih ganas. "Setelah makan obat dua atau tiga bulan, tidak jarang keluhan pasien memang hilang. Tapi ini belum berarti sudah sembuh total," katanya. Padahal, kalau saran DOTS dari WHO itu dijalankan dengan baik, pada tahun 2001 nanti sedikitnya 70% kasus TB di dunia dapat terdiagnosis dan terobati. Diharapkan angka kesembuhan nanti mencapai 85 - 95%. Artinya, dapat dicegah seperempat kasus baru dan kematian akibat TB.
Dalam pemberantasan TB, Singapura pernah menerapkan STEP(Singapore Tuberculosis Elimination Program)atau Program Pemberantasan TB. Caranya, Kementerian Kesehatan setempat mengadakan kampanye pendidikan masyarakat agar waspada terhadap bahaya penyakit menular ini. Juga kepada para dokter diberikan bimbingan dalam mendiagnosis serta mengobati pasien TB. Dokter diharapkan segera memberitahukan dan menyarankan untuk pengobatan kepada pasien yang terdeteksi mengidap penyakit ini. Bagi pasien yang resisten atau kurang (tidak) bereaksi terhadap obat yang diberikan, langsung ditangani di bawah kontrol program DOTS agar ditanggulangi sampai tuntas.
Kadang-kadang, menurut dr. Tjandra, kuman TB kebal atau resisten terhadap obat TB. Di India misalnya, pernah dilaporkan, adanya kombinasi obat rifampisin, INH, serta obat lain lagi yang tidak tercampur baik sehingga malah menyebabkan keadaan resisten yang disebut Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Penyebab lain MDR adalah penderita tidak minum obat secara teratur sampai tuntas. Kasus MDR biasanya ditangani dengan obat sekunder yang mahal harganya walaupun kadang masih kurang ampuh. Dalam hal ini diperlukan penanganan sangat khusus dan membutuhkan waktu pengobatan rutin yang jauh lebih lama (bisa dua tahun atau lebih).
Menurut sebuah laporan di AS, MDR-TB, khususnya pada mereka yang telah terinfeksi virus HIV, menyebabkan angka kematian lebih tinggi (7 - 80%)
dalam waktu hanya 4 - 16 minggu. Sangat menyedihkan bahwa sekarang diperkirakan sekitar 50.000 kasus TB di 35 negara (lima benua), atau 20% penduduk dunia, telah tertular atau terinfeksi MDR TB ini, khususnya di Rusia, Latvia, Estonia, India, Argentina, Cina, Pantai Gading, serta Republik Dominika.
Sebenarnya, tidak sulit membasmi penyakit TB asalkan penderita mengikuti semua nasihat yang diberikan dokter. Untuk menyebarluaskan pencegahan serta pengobatan TB tentu masih diperlukan tenaga non-medis yang dapat ikut membantu menyebarkan informasi sampai ke pelosok yang sulit terjangkau.
Belakangan, ketika penderita HIV/AIDS semakin bertambah jumlahnya, penyakit TB pun tampil kembali setelah lama tak terdengar ulahnya. Kedua penyakit itu rupanya sangat erat hubungannya. Menurunnya daya tahan tubuh yang drastis mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi seperti TB. Tentu saja terjangkitnya TB pada penderita HIV akan semakin memperburuk ketahanan tubuhnya serta mempercepat replikasi virus dalam tubuhnya. Berarti infeksi HIV akan mempercepat perjalanan penyakit TB.
Sebaliknya, TB dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV akan semakin mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS. Dalam kasus ini TB menjadi amat sulit dibasmi dan acap kali berakibat fatal. Sekitar sepertiga kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh TB, dan sekitar 40% kematian pada penderita AIDS di Afrika dan Asia disebabkan oleh TB. Menurut perkiraan WHO, akhir abad ini virus HIV akan menyebabkan sedikitnya 1,4 juta kasus TB aktif.
Dengan tanda awal demam, bobot badan menurun, cepat lelah, berkeringat dingin malam hari, gejala TB juga disertai batuk yang dahaknya acap kali bercampur darah.
Penyakit ini mulai menyebar ke segala penjuru dunia pada abad XVII - XVIII. Saat itu TB menyebabkan kematian hampir seperseperempat jumlah kaum dewasa di Eropa. Di AS bagian utara, dari tahun 1800 sampai awal 1900-an, TB merupakan penyebab kematian utama.
Walaupun mikrobakteri tuberkulose sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch pada 24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit ini baru bisa diberantas setelah ditemukan obatnya. pada 1940 - 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara lain
streptomycin, isioniazid, dan para-aminosacylic acid. Kemudian muncul obat ethambutol, rifampicin, thiacetazone, dan pyrazinamide.
Sejak itu, TB sempat mereda dan tidak lagi terlalu dimasalahkan oleh kalangan kedokteran. Namun, awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan pembicaraan dunia kedokteran karena ternyata masih membunuh sekitar 2 - 3 juta penduduk dunia, khususnya di negara ekonomi lemah dan menengah. Dari tujuh juta penderita TB, lebih dari setengahnya berada di negara berpendapatan menengah seperti Brasil, Indonesia, Iran, Meksiko, Filipina, Rusia, Afrika Selatan, dan Thailand. Belum lagi di negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan, India, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sudan, atau Uganda.
Menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru-paru dari RS Persahabatan, Jakarta, kini diperkirakan setiap tahun di dunia muncul empat juta penderita TB menular. Belum lagi sekitar empat juta penderita yang tidak menular atau pembawa kuman TB. Setiap tahun diperkirakan tiga juta orang meninggal karena penyakit ini, di antaranya satu juta kaum wanita dan sekitar 100.000 anak-anak.
Di Indonesia sendiri TB masih merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan, peringkat pertama penyebab kematian karena penyakit menular. Jumlah penderitanya sekitar 500.000 orang/tahun dan kematian sekitar 175.000 orang/tahun, khususnya di daerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman itu.
Di Singapura, negara termaju di Asia Tenggara itu, penambahan penderita TB hanya sekitar 2% atau sekitar 56 orang per 100.000 penduduk. Tapi jumlah ini masih 5 - 10% lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju lain. Sebagian besar kasus TB di Singapura terdeteksi pada para pendatang asing yang mengajukan izin kerja. Jumlahnya sekitar 12% dari 2.483 - 2.786 pendatang. Sedangkan di negara-negara maju, penderita TB sebagian besar para pengungsi atau gelandangan.
Harus diberantas tuntas Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita. Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB hendaknya segera disarankan untuk berobat. Bila dirawat di rumah hendaknya di kamar tersendiri dengan segala peralatan atau perlengkapan tersendiri pula. Lantai ruangan harus setiap hari dibersihkan dengan disinfektan yang cukup kuat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari penderita mengingat mereka rentan terhadap penyakit sehingga lebih mudah tertular, terutama kalau sanitasi dan higiene lingkungan serta gizi makanan anak kurang memenuhi syarat.
Kuman TB bisa juga menyerang hewan seperti babi, unggas, dan sapi. Sebab itu TB juga bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi kuman (M. Bovis) kalau tidak dipasturisasi secara saksama.
Namun selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah putih.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion (pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada). Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah. Terkadang pula infeksi primer TB tidak terjadi pada paru-paru (10%), tapi pada sendi atau tulang, ginjal, usus, rahim serta getah bening (leher).
Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit. Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain dari paru-paru. Pada taraf ini mungkin penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dll.
Pengetesan terhadap kuman TB yang sederhana adalah melalui ludah. Sedangkan untuk pencegahan biasanya digunakan vaksin BCG. Vaksin ini berupa kuman TB yang sudah dilemahkan. Sebelum mendapatkan suntikan ini, seseorang harus mendapatkan tes Manteaux terlebih dulu untuk mengetahui apakah ia memang masih terbebas dari kuman itu. Melalui foto X-Ray-thorax dapat diketahui pula keadaan paru-paru penderita (paru-paru penderita TB tampak berawan). Ada kalanya, pada stadium lanjut paru-paru sampai berlubang-lubang. Pada paru-paru yang pernah terjangkit penyakit TB pun pasti akan tetap terlihat bebas-bekasnya. Khusus untuk orang yang terinfeksi virus HIV, pencegahan TB dilakukan dengan langsung memberikan obat INH.
Jangan sampai kebal Dalam usaha menumpas penyakit TB ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebenarnya telah memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya system
monitoring yang baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Penanganan TB secara langsung, terawasi, cepat, dan tuntas ini sebenarnya ampuh dan efektif untuk menumpas TB.
Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya pemberantasan TB masih berlangsung lamban. Hambatannya antara lain letak geografis wilayah Indonesia yang terpencar-pencar, kurang penerangan, kurang teraturnya pengobatan, dll. Bahkan, di negara-negara berpenghasilan rendah, proyek ini masih tertunda. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengah-setengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling sedikit enam bulan.
Kalau pengobatan tidak tuntas, menurut dr. Tjandra, malah menyebabkan kuman kebal obat dan tentu akan muncul lebih ganas. "Setelah makan obat dua atau tiga bulan, tidak jarang keluhan pasien memang hilang. Tapi ini belum berarti sudah sembuh total," katanya. Padahal, kalau saran DOTS dari WHO itu dijalankan dengan baik, pada tahun 2001 nanti sedikitnya 70% kasus TB di dunia dapat terdiagnosis dan terobati. Diharapkan angka kesembuhan nanti mencapai 85 - 95%. Artinya, dapat dicegah seperempat kasus baru dan kematian akibat TB.
Dalam pemberantasan TB, Singapura pernah menerapkan STEP(Singapore Tuberculosis Elimination Program)atau Program Pemberantasan TB. Caranya, Kementerian Kesehatan setempat mengadakan kampanye pendidikan masyarakat agar waspada terhadap bahaya penyakit menular ini. Juga kepada para dokter diberikan bimbingan dalam mendiagnosis serta mengobati pasien TB. Dokter diharapkan segera memberitahukan dan menyarankan untuk pengobatan kepada pasien yang terdeteksi mengidap penyakit ini. Bagi pasien yang resisten atau kurang (tidak) bereaksi terhadap obat yang diberikan, langsung ditangani di bawah kontrol program DOTS agar ditanggulangi sampai tuntas.
Kadang-kadang, menurut dr. Tjandra, kuman TB kebal atau resisten terhadap obat TB. Di India misalnya, pernah dilaporkan, adanya kombinasi obat rifampisin, INH, serta obat lain lagi yang tidak tercampur baik sehingga malah menyebabkan keadaan resisten yang disebut Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Penyebab lain MDR adalah penderita tidak minum obat secara teratur sampai tuntas. Kasus MDR biasanya ditangani dengan obat sekunder yang mahal harganya walaupun kadang masih kurang ampuh. Dalam hal ini diperlukan penanganan sangat khusus dan membutuhkan waktu pengobatan rutin yang jauh lebih lama (bisa dua tahun atau lebih).
Menurut sebuah laporan di AS, MDR-TB, khususnya pada mereka yang telah terinfeksi virus HIV, menyebabkan angka kematian lebih tinggi (7 - 80%)
dalam waktu hanya 4 - 16 minggu. Sangat menyedihkan bahwa sekarang diperkirakan sekitar 50.000 kasus TB di 35 negara (lima benua), atau 20% penduduk dunia, telah tertular atau terinfeksi MDR TB ini, khususnya di Rusia, Latvia, Estonia, India, Argentina, Cina, Pantai Gading, serta Republik Dominika.
Sebenarnya, tidak sulit membasmi penyakit TB asalkan penderita mengikuti semua nasihat yang diberikan dokter. Untuk menyebarluaskan pencegahan serta pengobatan TB tentu masih diperlukan tenaga non-medis yang dapat ikut membantu menyebarkan informasi sampai ke pelosok yang sulit terjangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar